Lulus Pendidikan Perawat … Sedih atau Gembira?

Bagaimana perasaan Anda ketika proses pendidikan tinggi yang Anda tempuh telah berakhir dengan proses wisuda sebagai tanda kelulusan Anda? Apalagi ada predikat lulusan terbaik, cumlaude … tentunya rasa bangga, bahagia, suka cita akan menyambut Anda. Senyuman di bibir tak akan hilang dengan seketika, semua selfie dan wefie akan dipenuhi dengan sunggingan senyum merekah seakan tak bosan memamerkan putihnya gigi yang memang aslinya sudah putih tanpa perlu bleaching.

Sebut saja Nur (bukan nama sebenarnya) , wisudawan mahasiswa perawat juga terlarut dalam euforia kebahagiaan yang tiada tara karena bisa mengakhiri masa kuliahnya di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan. Setelah sebelumnya berhasil meraih Sarjana Keperawatan, kali ini pendidikan profesi berhasil juga dirampungkan dengan predikat cumlaude. Euforia bisa sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu, di media sosial seperti whatsapp grup, facebook, dan yang lainnya bertebaran upload foto foto wisuda. Tak lupa nama akun diubah dari Nur, S.kep menjadi Nur, S.kep., Ns .

Apakah euforia akan terus abadi dan berlangsung terus, tentunya tidak, karena pembuktian dari usaha selama menempuh pendidikan adalah aplikasi ilmu dalam dunia kerja. Sebelum menempuh kuliah di keperawatan sebetulnya Nur tidak pernah bercita-cita menjadi seorang perawat. Nur bercita-cita kuliah di tehnik sipil, karena kesukaan Nur dalam dunia merancang bentuk rumah. Tapi apa daya orang tua memaksa Nur agar menjadi seorang perawat. Karena berbakti pada orang tua maka Nur harus patuh dengan perintah dan arahannya.

Pilih D3 atau S1

Orang tua Nur bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, maka beliau menginginkan anaknya menjadi seorang sarjana. Sempat terjadi perdebatan ketika Nur menginginkan menempuh jalur pendidikan D3 keperawatan, karena Nur tahu waktu tempuh yang hanya 3 tahun, juga ijazahnya masih diperhitungkan. Tapi orang tua menentangnya, beliau memilih yang terbaik , dan yang terbaik menurut beliau adalah S1, meskipun waktu tempuh pendidikannya 4 tahun, tapi sudah bergelar sarjana. Lagi-lagi Nur menurut dengan pilihan orang tuanya.

gambar pinjam dari n7naga.blogspot.com

Mahalnya pendidikan keperawatan yang ditempuh Nur bukan masalah bagi orang tuanya, meskipun beliau hanya berlatar belakang seorang petani. Biaya pendidikan keperawatan di Surakarta yang swasta satu semester bisa mencapai 6 jutaan rupiah, belum biaya di luar pendidikan seperti buku-buku, kos, makan, dan lain sebagainya. Berarti secara matematis dibutuhkan minimal 36 juta untuk pendidikan selama 4 tahun.

Menyesal dengan S1

Empat tahun pendidikan bisa ditempuh dengan lancar oleh Nur. Nur, S.kep, gelar yang berhasil disematkan di belakang namanya. Bahagia sesaat bagi orang tua Nur, karena beliau baru tahu kalau Nur belum dianggap sebagai perawat profesional, walau sudah lulus dan menjadi sarjana keperawatan. Ijazah yang dipunyai Nur belum bisa dipakai untuk mencari pekerjaan. Nur masih harus meneruskan kuliah di jenjang profesi selama 1 tahun dengan biaya sekitar 18 jutaan. Beliau salah persepsi, mengira dengan merampungkan kuliah di sarjana keperawatan serta merta bisa segera bekerja, kemudian ketika sudah bekerja bisa sambil kuliah di profesi. Salah prediksi dari orang tua Nur sebetulnya sejak awal sudah diketahui Nur sendiri. Tapi karena Nur lebih mengedepankan dalam berbakti kepada orang tua maka ia memilih diam tidak berdebat dengan beliau.

Lebih menyesal lagi ketika tahu ada tetangga Nur yang lulusan D3 sudah bisa bekerja. Padahal hanya D3, bukan sarjana. D3 keperawatan harus dilalui dengan waktu tiga tahun, yang akan memiliki gelar Ahli Madya Keperawatan (Amd.Kep). Perawat yang berada di golongan ini menempuh jalur yang disebut Pendidikan Vokasi atau D3 Keperawatan dengan 60% praktik langsung di pelayanan kesehatan. Sehingga ijazah yang didapat bisa langsung digunakan untuk bekerja. Sedangkan Sarjana Keperawatan belum disebut sebagai perawat profesional, sehingga ijazahnya hanya bisa sebagai tanda bahwa ia adalah sarjana perawat. Bila mau menjadi perawat profesional masih harus menempuh pendidikan Ners (Ns) selama 1 tahun. Perawat yang melalui jalur ini disebut Pendidikan Profesional. Barulah ketika selesai merampungkan pendidikan profesi, ijazahnya bisa diakui dan bisa digunakan untuk mencari pekerjaan.

Akhirnya lulus profesi tapi itu belum berakhir

Yups… Barulah kali ini orang tua Nur bisa bernafas lega, membayangkan anaknya akan mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai perawat. Tapi apa daya, maksud hati ingin segera mendapat pekerjaan tapi peraturan era sekarang perawat itu selain lulus dari pendidikan keperawatan juga harus punya Surat Tanda Registrasi (STR). Haduh… Peraturan macam apa lagi nih… Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi. STR dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), diperoleh bila perawat sudah lulus menjalani pendidikan keperawatan dan lulus ujian kompetensi (Ukom), yang dibuktikan dengan selembar ijazah dan selembar sertifikat kompetensi. Jadi lulusan perawat itu tidak cukup kalau hanya punya ijazah, tetapi masih harus membuktikan bahwa dirinya itu kompeten, dengan bukti adanya Surat Tanda Registrasi (STR).

Usaha Mendapatkan Surat Tanda Registrasi

Euforia tiba-tiba terhenti sesaat, rasa bahagia karena telah lulus dari sekolah perawat ternyata masih harus ditunda. Untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi, Nur harus mengikuti uji kompetensi dulu. Uji kompetensi dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini diamanahkan kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia. Setiap perawat lulusan baru bisa mengikuti ujian kompetensi melalui kampus masing-masing atau bisa juga digabung dengan kampus lain, sebagai kepanjangan tangan dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Tentunya Uji Kompetensi tidaklah gratis, Nur masih harus merogoh kocek yang cukup banyak. Biaya pelaksanaan uji kompetensi sesuai dengan Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 307/M/Kp/IV/2015 tentang Satuan Biaya Penyelenggaraan Uji Kompetensi Program Diploma III Kebidanan, Diploma III Keperawatan dan Profesi Ners adalah sebagai berikut:

  1. Program Diploma III Kebidanan dan Diploma III Keperawatan sebesar Rp 225.000,-(dua ratus dua puluh lima ribu rupiah)
  2. Program Profesi Ners sebesar Rp 275.000,-(dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

Tapi, pada prosesnya akan memerlukan biaya 2x lipat karena akan dilakukan try out juga. Biaya bisa membengkak antara Rp.550.000,- sampai dengan Rp 600.000,-. Uang segitu sebetulnya cukup besar bagi seorang mahasiswa yang baru lulus seperti halnya Nur.

Uji Kompetensi biasanya dilaksanakan 3x setahun. Beruntung bagi Nur, dua bulan setelah wisuda ada jadwal uji kompetensi. Beruntung juga pelaksanaannya berada di kampus sendiri. Temannya ada yang didaftar di kampus lain yang jaraknya cukup jauh, perjalanan kendaraan 6 jam pulang pergi. Walaupun ketika try out nilai Nur hanya pas-pasan, tapi ketika benar-benar uji kompetensi Nur dinyatakan kompeten sebagai perawat. Alhamdulillah, Nur sangat bersyukur kepada Allah dengan keberhasilannya dalam uji kompetensi. Bagi yang gagal uji kompetensi tidak ada istilah remidi, tapi harus ikut dengan uji kompetensi di tahap berikutnya.

Proses Pengurusan Surat Tanda Registrasi Perawat secara Online

Setelah dinyatakan kompeten sebagai perawat, Nur akan mendapatkan Sertifikat Kompetensi satu bulan setelah uji kompetensi. Menunggu lagi, padahal sudah ngebet pingin segera bekerja. Setelah sertifikat kompetensi terbit, segera Nur dan teman sekampus mengurus Surat Tanda Registrasi. Sertifikat Kompetensi merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi. Setelah Nur melengkapi semua persyaratan, maka ia segera mendaftarkan dirinya ke Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia, lembaga yang berhak menerbitkan Surat Tanda Registrasi Perawat. Pendaftaran awal dilakukan secara online melalui situs MTKI. Beruntung Nur bukan mahasiswa gaptek, jadi bisa dengan mudah mendaftarkan dirinya secara online. Apalagi ia mendapatkan panduan tutorial cara mendaftar online untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi Perawat di situs http://www.newzizzahaz.wordpress com . Untuk pendaftaran ini Nur masih harus merogoh kocek lagi sebesar Rp 100.000,- untuk pembayaran pendapatan negara bukan pajak. Nur akan mendapatkan kode billing yang selanjutnya sebagai kode pembayaran di 79 Bank Persepsi yang ditunjuk pemerintah sebagai tempat pembayaran Surat Tanda Registrasi.

Setelah pembayaran Surat Tanda Registrasi lunas terbayar, segera Nur melakukan cetak berkas yang akan dikirimkan ke Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi. Karena semua teman Nur satu angkatan belum punya Surat Tanda Registrasi, maka mereka sepakat untuk mengurusnya secara kolektif, yang tentunya juga memerlukan biaya yang tak sedikit. Untuk pengurusan Surat Tanda Registrasi secara kolektif disepakati per kepala dibebankan biaya Rp 200.000,- . Nur yang punya keahlian di bidang Tehnologi Informasi cukup beruntung karena ia dijadikan panitia yang mengurusi masalah online teman temannya, maka dari itu ia tidak ditarik biaya sepeserpun.

Proses Pembuatan Surat Tanda Registrasi Perawat memerlukan waktu yang cukup lama

Segera saja setelah berkas lengkap, semuanya dibawa ke Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, agar proses pembuatan segera selesai. Pagi-pagi sekali Nur bersama teman-teman menuju ke MTKP Jawa Tengah, tepat jam 8 sampai di kantor MTKP suasana sudah riuh pertanda antrian sudah banyak. Segera saja Nur dkk mengambil posisi antrian, sambil iseng-iseng ngobrol dengan peserta antrian di kanan kiri depan dan belakang. Ada seorang yang ngantri mau mengambil STR yang sudah jadi. Katanya ia sudah mendaftarkan STR nya sekitar tujuh bulan yang lalu dan sekarang baru jadi. Waduh… Tercengang Nur mendengarnya… TUJUH bulan…. lama amir… Terbayang betapa lamanya Nur akan menganggur hanya gara-gara menunggu proses pembuatan STR.

Seleasai mengurus STR di MTKP Nur masih bisa bernafas lega karena dari MTKP Nur dibekali surat sakti bernama Surat Keterangan bahwa STR masih dalam proses. Berbekal ijazah dan Surat Keterangan STR masih dalam Proses Nur mencoba melamar pekerjaan sebagai perawat di Rumah Sakit Swasta yang bonafid di kota Solo. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, ternyata semua rumah sakit yang dituju tidak mengakui STR yang masih dalam proses. Mereka beralasan sudah banyak pelamar yang ber-STR, juga bersertifikat PPGD, BTCLS, atau yang lainnya. Ada personalia yang sampai memperlihatkan tumpukan map dan amplop para pelamar yang belum sempat dibuka karena dikirim via pos. Lemas sudah tubuh Nur melihat kenyataan ini.

Nur bukan type orang yang mudah berputus asa, ia yakin masih ada jalan. Nur bertekad harus mendapatkan pekerjaan, tidak harus di rumah sakit bonafid. Nur mencoba melamar di rumah sakit kecil type D, juga klinik pratama maupun klinik utama. Ternyata usaha Nur mulai kelihatan hasilnya. Dari rumah sakit dan klinik yang dimasuki lamaran pekerjaan semuanya memanggilnya untuk tes penerimaan karyawan baru. Nur memilih rumah sakit type D daripada klinik. Alhamdulillah semua proses tes bisa dilalui dengan baik dan tiba saatnya Nur memasuki dunia baru dalam sejarah hidupnya. Sebuah dunia kerja yang menandakan bahwa Nur sudah mandiri.

Gaji tidak sebanding dengan biaya semasa kuliah

Sementara Nur baru proses trining selama 3 bulan dengan ketentuan mendapatkan gaji 80% dari take home pay. Take home pay sesuai kesepakatan dari rumah sakit akan memberikan gaji sebesar Rp 900.000,- per bulannya. Sedikit sekali ya… padahal biaya untuk kuliah perawat lebih dari Rp 900.000,- per bulannya. Perlu waktu yang sangat lama untuk balik modal. Tapi biarlah, yang penting bisa untuk mengisi kesibukan sambil menunggu STR jadi, idep-idep untuk belajar dan mempertahankan ilmu yang pernah didapat semasa kuliah agar tidak menghilang dari ingatan juga sebagai batu loncatan untuk mendapatkan yang lebih baik.

Lain Nur lain temannya. Temannya Nur ada yang mengisi jeda menunggu STR dengan mengikuti pelatihan-pelatihan. Ada yang ikut pelatihan Hemodialisa, BTCLS, pelatihan perawat ICU, pelatihan perawat bedah dan lain-lain. Nur sebetulnya juga ingin ikut, tapi biayanya yang begitu mahal membuat Nur berpikir ulang. Taruhlah pelatihan Hemodialisa yang membutuhkan waktu 4 bulan harus merogoh kocek sebesar Rp 10.000.000,- , tentunya ini akan memberatkan bagi Nur.

Kerja dengan gaji yang minim tentunya membuat Nur serasa ingin hengkang dari tempat kerjanya. Karena cepatnya informasi era sekarang, Nur jadi tahu dengan cepat adanya lowongan pekerjaan yang lebih menjanjikan dari sisi gaji. Sebetulnya orang tua Nur menginginkan ia menjadi pegawai negeri sipil, tapi era sekarang perekrutan PNS sudah menjadi barang yang langka. Kalaupun ada pesaingnya sangat luar biasa banyak. Sepertinya pemerintah baru penghematan untuk pengeluaran uang negara, sehingga system penerimaan pegawai dalam penggajian diserahkan ke BLUD. BLUD merupakan singkatan dari Badan Layanan Umum Daerah, yang mana sekarang banyak Rumah Sakit Pemerintah yang berubah menjadi BLUD, sehingga ketika ada penerimaan pegawai statusnya sebagai pegawai non PNS. Walaupun gajinya tidak sebesar PNS, juga hanya menjadi pegawai kontrak, tapi peminatnya sangat banyak.

Ijazah dan Surat Tanda Registrasi ternyata juga belum cukup

Sebetulnya Nur sudah berusaha untuk ikut tes rekrutmen pegawai BLUD non PNS, tapi lagi-lagi ia terganjal administrasi. Salah satu syarat menjadi perawat BLUD adalah harus mempunyai sertifikat kegawatdaruratan atau lebih populernya dinamakan Sertifikat Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS). Akhirnya Nur cuma bisa pasrah, sementara apa yang ada disyukuri dan dinikmati dulu. Untuk bermimpi bekerja di BLUD harus dikubur dulu, Nur akan menabung uang guna mendapatkan sertifikat BTCLS. Untuk mendapatkan sertifikat BTCLS harus ditempuh dengan pelatihan selama 5 hari dengan biaya sekitar 2,5 jutaan. Nur sungkan bila harus minta uang kepada orang tuanya, biarlah ia akan mengumpulkan sedikit demi sedikit dari gajinya yang cuma Rp 900.000,- per bulan. 

Gaji kecil Nur yang sudah kecil akan terasa kecil lagi, karena Nur harus menjadi anggota PPNI kabupaten, sehingga ada iuran wajib yang dibayar ketika awal mendaftar, dan iuran bulanan yang dibayar tiap bulan.  Sementara ini organisasi profesi belum bisa memberi dampak pada peningkatan kesejahteraan Nur, tapi tetap wajib menjadi anggotanya. Mungkin perjuangan mereka belum maksimal, atau memang belum saatnya perawat bisa berjaya.

Kisah Nur sedikit mewakili problem lulusan perawat yang semakin sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Belum lagi momok Surat Tanda Registrasi yang harus ditempuh dengan Ujian Kompetensi, yang kadang ada lulusan perawat sampai mengulang 4-5 kali belum lulus. Sulitnya menjadi perawat era sekarang. Kesimpulannya, perawat era sekarang harus memiliki bekal lebih, tidak hanya sekedar ijazah.

Bekal perawat era sekarang :

  1. Ijazah
  2. Surat Tanda Registrasi (STR)
  3. Sertifikat BTCLS
  4. Serifikat perawat Hemodialisa / ICU / Anestesi / Perawat bedah, atau yang lainnya.

Soal biaya?… Hitung sendiri ya…

Kisah Nur belum berakhir, akan ada lanjutannya, entah akan menuju baik atau akan sebaliknya. Menarik kita simak karena perjuangan Nur untuk menjadi lebih baik belum berakhir.

 

23 respons untuk ‘Lulus Pendidikan Perawat … Sedih atau Gembira?

  1. Sedih dan miris. Dan gaji PNS untuk golongan 2 atau bahkan 3 kecil banget. Kalo masih CPNS dibayar cuma 80%.
    Padahal biaya kuliah dan pelatihannya mahal.

    Suka

  2. Hi, Pak Nur. Terima kasih karena telah menuliskan sesuatu yang sangat menggambarkan nasip dari para Perawat lulusan terbaru akhir-akhir ini. Saya mungkin adalah salah satu ‘Nur’ dalam cerita Bapak.
    Saya merasakan kecemburuan ketika teman-teman saya dari program diploma sudah lulus dan mendapatkan gelarnya, ketika saya masih saja bermain-main dengan banyaknya mata kuliah yang saya sendiri tidak mengerti mengapa saya harus membaca dan menguasai semuanya.
    Ketika Lulus Sarjana Keperawatan, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa bekerja secara klinis kalau belum memiliki gelar ‘Ners’ dibelakang gelar S.Kep yang saya miliki. Lalu, setelah menempuh program internsip selama kurang lebih satu tahun, saya harus menjalani lagi yang namanya uji komptensi dan menunggu setahun lebih sampai STR saya keluar dan saya dinyatakan siap untuk bekerja.
    Mungkin, saya sedikit beruntung karena ada tempat kerja yang mau menerima saya meskipun saya belum memiliki STR, setidaknya setelah uji komptensi perawat, saya tidak menganggur dalam waktu lama.
    Soal perbandingan penghasilan dan biaya kuliah yang saya keluarkan selama masa pendidikan, sama sekali tidak sebanding. Masa-masa awal karir saya, saya harus berhemat sehemat-hematnya untuk bisa hidup. Menyedihkan memang !
    Tidak mudah bagi saya saat itu untuk menerima keadaan yang saya alami. Tapi, waktu memang merubah segalanya. Dengan usaha, kerja keras dan Doa. Semua keadaan perlahan-lahan berubah.
    Tapi, masalah masih saja muncul dari Profesi sendiri. Meskipun sudah memiliki STR, saya harus siap-siap memperpanjang STR ini dengan mengumpulkan point-point kredit yang nantinya dapat ditukarkan dengan ‘perpanjangan STR’ saya.
    Ah, rasanya perjuangan di dalam profesi ini panjang kali, Pak.

    Suka

    • Iya mbak Ayu… Saya tulis ini karena merasa peraturan yang sekarang malah memberatkan lulusan perawat era sekarang. Iba bila ada cerita sampai ada yang mengulang ukom sampai 4x, 5x, itu artinya semakin memperpanjang waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, juga biaya yang dikeluarkan makin banyak.
      Dengar-dengar peraturan perpanjangan STR terbaru juga makin berat karena SKP tidak boleh 100% dari seminar atau simposium saja. Hal ini akan coba saya tulis di kehidupan Nur selanjutnya

      Disukai oleh 1 orang

      • Ia, Terima Kasih banyak ya Pak atas kebaikan hatinya untuk berbagai masalah yang sangat penting seperti ini.
        Saya lulusan tahun 2013 dan sampai tahun ini, masih ada sahabat-sahabat saya satu angkatan yang belum lulus uji kompetensi. Lebih dari 5x jika digabung dari trial hingga uji kompetensi yang sesungguhnya. Sedih rasanya melihat kenyataan seperti ini. Kadang, mau marah juga dengan sekolah yang membimbing dari awal, tapi mau bagaimana lagi ? Entah siapa yang merasa diuntungkan dengan masalah seperti ini.

        Suka

        • UKOM ternyata menjadi momok bagi sebagian lulusan perawat, yang tentunya ini menjadi lahan bisnis bagi sebagiannya. Apalagi jumlah lulusan perawat dari tahun ke tahun tetap banyak, yang tentunya mereka juga akan berhadapan dengan UKOM. Semoga saja ada yang memperjuangkan untuk kemudahan dalam UKOM dan pembuatan STR tidak terlalu lama, cukup 18 hari sesuai yang tertulis di situs MTKI

          Disukai oleh 1 orang

  3. Informasi jenjang kependidikan yang sangat membantu bagi yg akan memilih jurusan ini , Kang. Saya sendiri baru tahu ternyata sarjana keperawatan untuk bisa bekerja sebagai perawat profesional masih memerlukan dana dan waktu yg panjang lagi setelah masa kuliah. Apa mungkin sarjana keperawatan lebih diarahkan kebagian yg mengatur bagian administratif dunia keperawatan, Kang?

    Suka

    • Untuk sarjana keperawatan belum dikatakan perawat profesional mbak, kalau mau disebut perawat ya harus ambil program profesi 1 tahun. pendidikan keperawatan sekarang mengacu pada pendidikan kedokteran. Sarjana kedokteran pun juga belum dikatakan dokter bila belum mengambil program profesi atau coass.

      Disukai oleh 2 orang

  4. Sungguh sarat perjuangan dari pendidikan hingga ke jenjang perjuangan ya Kang Nur. Banyak ‘Nur dan orang tua Nur’ yg tertegun ternyata nggak cukup lulus dengan baik telah ditunggu pekerjaan. Selamat melayani di bidang keperawatan, salam

    Suka

    • Iya mbak, kadang tujuan awal seseorang kuliah itu adalah mendapatkan pekerjaan yang layak selepas kuliah esok, tapi kadang harapan itu jauh panggang dari api…

      Suka

  5. Saya mahasiswa keperawatan baru menyandang gelar S.Kep, dan utk dikatakan menjadi perawat salah satunya wajib lanjut ners. Tapi saya bingung mau lanjut ners di kampus sendiri atau kampus lain. Soalnya kampus sendiri akreditasi ners nya C. Sebenarnya ada aturan yg baku tidak kalau harus lanjut ners di kampus sendiri?? Dan yang baik bagaimana, saya bingung.. mohon pencerahannya 😔🙏

    Suka

    • Kalau Anda punya pandangan yang jauh ke depan, harusnya Anda memilih kampus yang terakreditasi minimal B, lebih baik lagi kalau A. Tapi untuk masuk ke lain kampus dengan akreditasi yang lebih baik tentunya Anda harus bersaing dengan lulusan dari kampus yang akan Anda tuju. Tidak ada aturan baku Anda harus melanjutkan di kampus tempat Anda lulus S.kep… Yang penting tetap semangat dan berusaha semaksimal mungkin, jangan lupa selalu berdoa kepada Allah agar dimudahkan segala urusan

      Suka

  6. Dewie berkata:

    Miris juga y liat ceritanya sy kirain saya yg berpandang hal bgitu ..aplgi mslh krjaan skr smkin susah d cari ..byk yg perawat dluar sn mlh tdk mnjd perawat ad yg berwiraswasta ..nrpikir mgkin yg llusan ksehatn bknny tmbh baik mlh lbh sulit dlm byk prosedur yg baru ..dr zmn dahulu n skr ini pling ribet tp nama ny mnusia psti byk akal n sllu berikhtiar dlm menggapai yg baik..aplgi era tjun skr dunia mngalami pandemi tdk lain ksehtn mlh perekonomian smkin minim di lihat nya ..semangat y nur mngkin km lbh baik d bnding sy n yg lain ny ..krn ini khidupn y bgini lh 😢

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.