Sekitar tahun 90-an, saya pernah dikejutkan oleh pernyataan Paklik saya yang tidak setuju diadakan halalbihalal di desa kami. Paklik saya sebetulnya tidak mengatakan secara langsung tentang ketidaksetujuannya, tetapi hanya bertanya,”halalbihalal itu apa? Kalau ada halalbihalal berarti ada haram bi haram.” Demikian sinyal ketidaksetujuan beliau. Beliau juga menolak ketika diminta untuk menjadi pembicara dalam pengajian halalbihalal tersebut.
Saya heran dengan sikap Paklik, karena Paklik sebetulnya adalah pelopor dakwah Islam di desa kami. Sekitar tahun 80-an, desa kami merupakan daerah yang jarang tersentuh ajaran Islam. Kegiatan syirik lebih mendomiasi, maklum saja banyak bercokol dukun terkenal di desa kami. Banyak ritual bersih desa yang selain berbau syirik juga selalu dibumbui dengan kegiatan tayuban sambil minum-minuman keras yang tentunya sangat memabukkan. Setiap ada hajat keluarga selalu minta konsultasi kepada dukun dulu untuk menentukan hari baik dan sebagainya.
Keadaan ini direspon oleh Paklik saya, yang saat itu baru selesai menuntut ilmu agama Islam dari beberapa pondok terkenal di Jawa Timur. Saya tidak terlalu ingat dengan sepak terjangnya beliau ketika itu, yang saya ingat di awal-awal dakwah beliau, pendekatan terhadap kaum muda yang pertama dilakukan. Bergerak dari satu kampung ke kampung lain, beliau mengadakan pengajian rutin dan pemberantasan buta huruf al qur’an. Juga kesyirikan yang begitu melekat di desa kami berusaha beliau lawan. Karena kevokalan Paklik dalam menentang kesyirikan pernah sekali waktu Paklik harus berurusan dengan yang berwajib karena dilaporkan menentang adat. Tapi berkat kesabaran beliau kesyirikan yang begitu melekat pelan-pelan bisa dilepaskan.
Bila ada yang tidak setuju dengan halalbihalal, dan ternyata dia adalah Paklik saya yang notabene adalah pejuang dakwah Islam di desa saya, maka hal ini menimbulkan keheranan yang tidak hanya pada diri saya, tetapi pada penduduk desa yang lainnya. Ketika itu, acara halalbihalal merupakan acara yang ditunggu-tunggu penduduk desa. Selain sebagai sarana bermaaf-maafan antara aparat desa dengan warga desa, juga merupakan panggung hiburan yang semua personelnya dari berbagai lapisan masyarakat.
Halalbihalal biasanya diawalai dengan sambutan-sambutan dari aparat desa, tokoh masyarakat dan panitia. Setelah itu ada pengajian yang mengupas seputar halalbihalal. Selanjutnya ada hiburan berupa tari-tarian khas daerah, drama komedi, pentas pencak silat dari perguruan bela diri persaudaraan Setia Hati Terate, dan penyerahan hadiah lomba yang diselenggarakan selama bulan Ramadhan. Saat itu perasaan saya tidak ada yang berbau kesyirikan, koq Paklik saya sampai enggan menjadi pembicara.
Setelah waktu lama berlalu, saya mulai mengerti tentang alasan penolakan Paklik saya. Halalbihalal di sebagian orang ada yang menganggap bukan suatu hal yang wajib dilakukan umat Islam pada bulan Syawwal. Namun ada juga yang merasa kurang afdhol bila tidak diadakan halalbihalal. Bahkan ada yang menolak sama sekali dan menganggap halalbihalal merupakan perbuatan bid’ah yang sama sekali tidak boleh diamalkan.
Meskipun halalbihalal menggunakan bahasa Arab, tetapi sebetulnya bukanlah tradisi yang berasal dari Timur Tengah. Halalbihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Justru kata Halalbihalal ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan satu kata yang tidak terpisah “halalbihalal”.
Arti kata, ejaan, dan contoh penggunaan kata “halalbihalal” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
ha·lal·bi·ha·lal n hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang: — merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia;
ber·ha·lal·bi·ha·lal v bermaaf-maafan pd Lebaran: pd Lebaran kita ~ dng segenap sanak keluarga dan handai tolan
Jadi bisa dikatakan bahwa halalbihalal hanyalah sebuah tradisi, atau sebuah budaya bangsa Indonesia. Sebetulnya, secara Islam hanyalah ada dua hari raya, yaitu hari raya Iedul Fithri dan hari raya Iedul Adha. Setelah Ramadhan, hari raya yang sah dilakukan adalah hari raya Iedul Fithri yang mana tidak disebutkan halalbihalal sebagai salah satu cara merayakannya. Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang sifatnya syar’i, dalam artian bahwa eksistensinya memang ditetapkan oleh syariat. Lain halnya dengan halalbihalal yang status syar’i-nya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, karena ia merupakan produk asli Indonesia baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya.
Lalu bagaimana cara kita menyikapi halalbihalal, yang mana meskipun kita orang Islam tapi kita hidup di Indonesia?
Sekali lagi, Halalbihalal merupakan budaya, sedangkan budaya merupakan hasil karya manusia.
Arti kata, ejaan, dan contoh penggunaan kata “budaya” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
bu·da·ya
1 pikiran; akal budi: hasil –;
2 adat istiadat: menyelidiki bahasa dan –;
3 sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yg –;
4 cak sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah;
Budaya dan Islam adalah dua hal yang akan selalu hadir dalam kehidupan manusia. Budaya bisa lahir dari berbagai latar belakang, bahkan Islam sendiri kadang menjadi inspirasi sebuah budaya. Apalagi di Indonesia yang notabene adalah negara dengan penduduk yang beragama Islam terbesar di dunia, maka kebudayaan Indonesia seringkali bercampur dengan budaya Islam. Namun kita juga harus mengerti bahwa Indonesia punya latar belakang berbagai budaya yang berasal dari banyak suku yang notabene semua suku akan membawa budayanya sendiri-sendiri. Maka bisa ditebak, bahwa budaya Islam yang tercipta akan bercampur dengan budaya setempat.
Kita akan membagi budaya berdasarkan tiga keadaan yaitu
1. Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
2. Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam
3. Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Pembagian terhadap budaya di atas akan memudahkan kita untuk memilih suatu budaya yang boleh kita lakukan juga mana budaya yang tidak boleh kita lakukan. Ada tiga prinsip juga yang harus kita lakukan untuk bolehnya melakukan suatu budaya, agar tidak masuk ke dalam kegiatan yang justru bertentangan dengan agama Islam.
Tiga prinsip Islam dalam memandang suatu budaya yaitu:
1. Tidak melanggar ketentuan syari’at Islam
2. Mendatangkan mashlahat (kebaikan) dan tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan)
3. Sesuai dengan prinsip Al-Wala’ (Cinta yang hanya kepada Allah SWT dan apa yang dicintai-Nya) dan Al-Bara’ (Berlepas diri dan membenci apa saja yang dibenci oleh Allah SWT)
Nah… sekarang saatnya menyelidiki apakah budaya halalbihalal bertentangan dengan agama Islam atau tidak. Saya mencoba mencari tahu tentang halalbihalal dari berbagai sumber, kesimpulan saya halalbihalal mengandung dua unsur yaitu silaturahim dan maaf-memaafkan. Dua unsur tersebut merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam Islam, mendatangkan maslahat dan tidak menimbulkan mafsadat. Hal inilah yang mendasari para ulama yang setuju dan membela halalbihalal sebagai budaya yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Banyak dalil-dalil yang mendukung dua esensi halalbihalal ini.
Saya setuju dengan ulama yang menyetujui unsur halalbihalal tidak bertentangan dengan Islam, namun saya tetap tidak dapat mencari apa yang saya ingini. Saya ingin sekali ada ulama yang menetapkan secara pasti bagaimana cara halalbihalal dalam artian cara bermaaf-maafan dan silaturahmi yang benar-banar sesuai syariat. Karena selama ini yang menjadi pembela halalbihalal hanya membela dari sudut maaf-maafan dan silaturahimnya, tapi tidak pernah membahas tata caranya. Seharusnya ada semacam pembahasan bagaimana cara berhalalbihalal yang benar, karena selama ini saya dapati tata cara halalbihalal berbeda-beda antara satu dan yang lainnya. Seperti tulisanku di awal, di kampungku dulu seperti di atas, selain bemaaf-maafan dan silaturahim juga ada panggung hiburan. Bahkan sekarang halalbihalal bisa digabung dengan acara lain, contohnya “Reuni dan halalbihalal”, “Temu kangen dan halalbihalal”.
Ada sebuah ritual kesyirikan yang pelakunya tidak mau dianggap musyrik. Sebagai rasa syukur kepada Allah… katanya begitu… ada sebagian orang melakukan ritual caos dhahar, yaitu mempersembahkan sebagian kecil dari hasil buminya kepada Tuhan dengan cara dihanyutkan di sungai. Mereka tidak menganggap hal ini bertentangan dengan syariat Islam karena ini sebagai rasa syukur kepada Allah yang telah memberi rizki. Iya… memang betul syukur kepada Allah memang sangat dianjurkan, tapi tentunya bukan dengan cara yang menyelisihi syariat Islam. Begitulah dengan halalbihalal, karena tidak ada aturan baku yang menerangkan tentang tata cara halalbihalal yang benar, maka silaturahim dan maaf bermaafan akan bercampur aduk dengan hal-hal yang kadang bertentangan dengan syariat Islam.
Harapan saya tentang halalbihalal, karena hal ini sudah menjadi budaya yang sudah mengakar kuat, semoga ada ulama yang merumuskan cara halalbihalal yang benar-benar sesuai syariat Islam. Bagaimana cara silaturahim yang benar, bagaimana cara bermaafan yang benar, bagaimana cara setting acara di gedung yang benar, dan banyak lagi yang akan dibahas.
Trus… kalau kita dapat undangan halalbihalal, bagaimana kita harusnya bersikap? Semua kembali kepada tiga prinsip dalam menyikapi budaya di atas, bila tiga unsur itu ada bolehlah… (boleh lho ya, bukan wajib)… kita menghadirinya, tapi bila tidak ada salah satunya bahkan ketiga-tiganya, wajib kita tidak menghadirinya. In sya Allah dengan tidak menghadirinya tidak ada dosa yang dilimpahkan kepada kita.
Sekali lagi… halalbihalal bukanlah perkara ibadah, halalbihalal adalah sebuah budaya, yang mana sebuah budaya bila sesuai dengan syariat Islam in sya Allah akan berbuah pahala. Namun karena halalbihalal adalah budaya maka tentunya hukumnya tidak wajib dilaksanakan, walaupun Ramadhan telah berakhir, walaupun sehabis shalat iedul fithri. Jangan membuly orang yang tidak mau melaksanakan halalbihalal, asalkan ia punya alasan syar’i, kita hormati pendapatnya. Silaturahim dan bermaaf-maafan tidak harus di bulan Syawwal, selain bulan itu tetap baik. Semoga ke depannya halalbihalal semakin memberikan banyak manfaat dan semakin sesuai syariat Islam.
Semoga bermanfaat.
sumber gambar : hidayatullah.com
Kirain halalbihalal itu seperti sungkem gitu kang..
di tempatku gak ada sih kayak gitu..
kalau udah syawal, yah tradisinya keliling kampung untuk bersilaturohmi gitu aja sih
SukaSuka
kalau sekarang seringnya yang melaksanakan instansi atau kelompok. Saya pernah dapat undangan dari komunitas pasien hemodialisa, acaranya ada organ tunggalnya, saya ngumpet pas disuruh nyanyi ke depan dan hadir lagi pas acara makan-makan.
SukaDisukai oleh 1 orang
hahahaha.. Yes…
aku juga akan hadir saat ada undangan makan. hihihih
SukaSuka
Selama baik ndak msalah kayaknya kang, d anjurkan juga dlam agama untuk mnjga tli silaturahmi, nah halal bihalal jgslh stu cranya, mntrku ku pribdi kang😉
SukaSuka
iya mbak kunu, saya tidak mempermasalahkan halal bihalalnya…. cuma kadang caranya yang bercampur dengan hal yang dilarang agama Islam, sudah tidak murni silaturahim dan maaf-maafan.
SukaDisukai oleh 1 orang
Tryta ada ya kang sprti sptti itu. Klo d daerahku murni maaf maafan 😄
SukaSuka
Kemarin saya baru ada acara Kang, Reuni, halal bihalal, lauching produk beasiswa alumni, dan pentas ludruk digabung jadi satu.
Tapi ternyata pas acaranya kita hanya cuap2 seangkatan saja, sama adek kelas malah ga ada satu acara khusus buat saling berputar salam2an.. saking banyaknya peserta.
Yang saya sayangkan malah campur baur semuanya.
rasanya setuju kalau misal ada tata cara khusus begitu, baiknya bagaimana ketika acara berjalan. (Mungkin ini tergantung di pengonsep acaranya juga ya)
SukaSuka
iya… lha itu malah acara intinya jadi kabur ya… beberapa acara digabung jadi satu
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya Kang..
SukaSuka
Untungnya di desa saya udah gak ada yang kayak gitu lagi kang. 🙂
Cuma muter-muter biasa saja. hehehe. .
SukaSuka
Seringnya sekarang malah di kota mas
SukaSuka
Kok malah jadi “urbanisasi” gitu. Hehehe. . 😐
SukaSuka
Terima kasih Kang atas pencerahan untuk ‘nintingi’ budaya halalbihalal. Ada acara kantor, keluarga, rukun tetangga maupun komunitas penyelenggara acara halalbihalal. Salam
SukaSuka
Iya mbak prih.. Sama sama
Wah… Agenda halalbihalalnya cukup banyak ya mbak, biasanya hidangannya lontong opor ya…
SukaSuka
Takut di cap bidah kali
SukaSuka
Kalau dijadikan ibadah tetep masuk bid’ah
SukaSuka
Kalau di keluarga besar saya halalbihalal terasa bermanfaat kang, kami bersama mendoakan buyut-buyut dan saling mengenal satu sama lain, juga mengenal silsilah keluarga sendiri 😆
Malah baru tau ada jenis halalbihalal kayak yang kang Nur ceritakan… Tambah wawasan nih kang jadinya 😆
SukaSuka
Ziza dah termasuk keturunan ke berapa? Udek udek siwur kah
SukaDisukai oleh 1 orang
Waduh kang, apa itu udek-udek siwur? Wkwkwk. Intinya aku itu cucunya cucu 😂😂😂
SukaSuka
Silsilah jawa….
Ni urutannya
Moyang ke-18. Mbah Trah Tumerah
Moyang ke-17. Mbah Menya-menya
Moyang ke-16. Mbah Menyaman
Moyang ke-15. Mbah Ampleng
Moyang ke-14. Mbah Cumpleng
Moyang ke-13. Mbah Giyeng
Moyang ke-12. Mbah Cendheng
Moyang ke-11. Mbah Gropak Waton
Moyang ke-10. Mbah Galih Asem
Moyang ke-9. Mbah Debog Bosok
Moyang ke-8. Mbah Gropak Senthe
Moyang ke-7. Mbah Gantung Siwur
Moyang ke-6. Mbah Udheg-udheg
Moyang ke-5. Mbah Wareng
Moyang ke-4. Mbah Canggah
Moyang ke-3. Mbah Buyut
Moyang ke-2. Simbah, dalam bahasa Indonesia disebut Eyang
Moyang ke-1. Bapak / Simbok
KITA <====
Keturunan ke-1. Anak
Keturunan ke-2. Putu, dalam bahasa Indonesia disebut “cucu”
Keturunan ke-3. Buyut, dalam bahasa Indonesia disebut “cicit”
Keturunan ke-4. Canggah
Keturunan ke-5. Wareng
Keturunan ke-6. Udhek-Udhek
Keturunan ke-7. Gantung Siwur
Keturunan ke-8. Gropak Senthe
Keturunan ke-9. Debog Bosok
Keturunan ke-10. Galih Asem
Keturunan ke-11. Gropak waton
Keturunan ke-12. Cendheng
Keturunan ke-13. Giyeng
Keturunan ke-14. Cumpleng
Keturunan ke-15. Ampleng
Keturunan ke-16. Menyaman
Keturunan ke-17. Menya-menya
Keturunan ke-18. Trah tumerah.
SukaDisukai oleh 1 orang
Oalaah begitu, masih sampai mbah canggah aja kok kang Nur, masih sedikit ya ternyata masih moyang ke empat…
SukaSuka
sebagai sarana menjalin silaturahim untuk menjaga persaudaraan atau pertemanan sy masih setuju sih halal bi halal, tp kalau sdh ada hal2 yg berbau klenik atau syirik pastinya sy tidak datang jg biar diundang, kalau tahu tahu sebelumnya tentunya. Karena sy di luar jawa, selama belum pernah sih ikut yg berbau syirik, bahkan di daerahku jarang ada acara halal bi halal
SukaSuka
Kalau syirik dan klenik sudah jarang mbak, yang masih ada bercampurnya anatara laki-laki dan wanita non mahrom, kadang diselingi acara musik dan nyanyian yang tidak pas untuk acara halalbihalal.
SukaDisukai oleh 1 orang
Oh begitu ya kang Nur?
Kalau begitu lebih baik dihindari saja ya
SukaSuka
Dulu sering blur ttg definisi halalbihalal ini. Karena nganggapnya udah bagian dari perayaan idul fitri, maka sah aja ngikutin. Biasanya diisi pengajian gitu. Jadi intinya pengajian tapi dalam momen lebaran maka dibingkai dengan tema halalbihalal sehingga terasa sekali perayaannya.
SukaSuka
Iya… Halalbihalal memang sudah mengakar kuat, sehingga seolah olah itu bagian dari iedul fithri, sehingga ada yang menganggap iedul fithri kurang afdhol tanpa halalbihalal
SukaDisukai oleh 1 orang
Paklik-e jenengan itu apa bapaknya Ulum? 😀
Sy termasuk yg tdk mempermasalahkan halal bi halal scr umum. Scr khususnya tergantung isi acaranya apa…Klo diisi omben2an ya mboten purun. 🙂
SukaSuka
Iya… Pak saiful… Saya juga kadang tidak mempermasalahkan secara umum, dalam artian silaturahim dan bermaaf maafan, seperti tulisan saya di atas
SukaSuka
halal bihalal sepertinya hanya ada di budaya Indonesia
SukaSuka